Thursday, December 09, 2004

MENCARI SEMANGAT SUMPAH PEMUDA DI ERA GLOBALISASI


Oleh Gusti Nur Cahya Aryani


Tujuh puluh enam tahun silam, sebagian besar pemuda Indonesia memanggul senjata, bertempur mengusir penjajah, tetapi sekarang, di era kemerdekaan ini, para pemuda memiliki pilihan yang lebih bervariasi untuk "diperjuangkan".

Di antara sekian banyak pilihan itu, adalah "bercanda" dengan ular dan "bermain" bersama ikan pari raksasa, seperti yang dilakukan oleh para pemuda yang tergabung dalam Lembaga Studi Ular, SIOUX dan tim penyelam Sea World Indonesia. Tema besar yang mereka usung dari kegiatan itu adalah pelestarian lingkungan hidup, menjaga, dan melindungi kekayaan bangsa yang berwujud alam semesta.

"Hal itu juga merupakan 'pengejawantahan' dari semangat Sumpah Pemuda yang pernah digaungkan para pemuda pada 28 Oktober 1928," kata Ketua Lembaga Studi Ular, Sioux, Aji Rachmat Purwanto kepada ANTARA, di Jakarta, Selasa. Piagam Sumpah Pemuda di antaranya memuat akan tekad para pemuda untuk satu tanah air, bangsa dan bahasa yaitu Indonesia. Sementara itu segala sesuatu yang terkandung di alam Indonesia dan lingkungan hidup Indonesia adalah tanah air Indonesia.

"Saat ini peringatan Sumpah Pemuda merupakan suatu "moment" yang tepat untuk instropeksi diri dan memperkuat barisan persatuan, suatu simbol pengingat bagi bangsa Indonesia tentang makna persatuan," katanya. Menurut Aji, jika dahulu tidak pernah ada Sumpah Pemuda, kalau peringatan 28 Oktober itu tidak lagi bermakna, maka Indonesia tidak akan punya waktu yang tepat untuk instropeksi diri dan memperkuat barisan persatuannya. Sekarang, fungsi peringatan Sumpah Pemuda bisa jadi semacam pengingat tentang makna persatuan yang memberikan memori kilas balik yang cukup berkesan dimana semua elemen menyatakan sikap untuk satu tekad.

Senada dengan Aji, Herry Mulyono, Ketua tim selam Sea World Indonesia pada acara pengibaran bendera "raksasa", ukuran 3x8 meter mengatakan, sikap peduli terhadap lingkungan hidup juga merupakan wujud dari rasa nasionalisme generasi muda. Menurut dia, sekarang kan sudah tidak mungkin lagi semua orang memanggul senjata, jadi rasa peduli terhadap lingkungan juga salah satu wujud dari melindungi tanah air dari kerusakan. Selain itu, Wakil Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda (GP) Ansor, Maskut Candranegara, Selasa, juga mengganggap bahwa makna Sumpah pemuda yang diperingati setiap 28 Oktober tersebut masih relevan hingga saat ini.

"Makna Sumpah Pemuda perlu dihayati dan jangan hanya menjadi slogan atau hafalan. Pada zaman dulu pendahulu kita sudah berani bersumpah padahal bentuk negara pun belum ada, tetapi yang perlu dicontoh ialah semangat persatuan dan kesatuannya," ujarnya. Ia mengemukakan, sikap nasionalisme yang diharapkan akan tetap tumbuh dan berkembang dalam diri bangsa Indonesia ialah mempertahankan karakter bangsa yang kuat sehingga mampu membentengi diri dari pengaruh budaya asing yang tidak sesuai. Maskut yakin, jika para pemuda tidak melupakan sejarah bangsa, menyadari jika Indonesia memiliki karakter yang berbeda serta, menjaga warisan bangsa maka nasionalisme dengan sendirinya akan terbangun dan budaya asing pun tidak akan mampu menerobos "pagar-pagar".

Menantang Bahaya

Kali ini, tujuh puluh enam tahun setelah Sumpah Pemuda dideklarasikan oleh generasi sebelumnya, bagaimana kah apresiasi generasi muda terhadap semangat nasionalisme itu sendiri ? Apakah nasionalisme masih ada di dalam dada setiap pemuda Indonesia di era milenium ini, ketika semuanya tidak dapat lagi diukur dari keberanian menantang bahaya, memanggul senjata di medan laga ? Di era globalisasi ini, organisasi dan kegiatan pemuda tumbuh dan berkembang di berbagai lapisan. Jenis dan tujuannya pun beragam.

Dan selama ini masyarakat tanpa sadar sering memberi "label" negatif kepada para pemuda yang memiliki beberapa hobi atau kegiatan "unik". Para pemuda itu dianggap hanya mencari "sensasi" atau "prestise" semata apabila kegiatannya tidak terkait langsung dengan kegiatan belajar atau menuntut ilmu secara formal. Menanggapi hal itu, Aji mengatakan, inti dari kegiatan SIOUX itu bukannya hanya sekedar berani atau "sok jago" bercanda dengan ular yang selama ini dianggap sebagai salah satu dari hewan berbahaya di muka bumi.

"Kami semua yang berkumpul di sini bukan karena mau unjuk keberanian atau semata untuk prestise tetapi lebih dari itu kami peduli terhadap ular itu sendiri," kata Aji.
Ular, Aji menambahkan, tidak semuanya berbisa, hanya sekitar dua sampai lima persen saja yang memiliki bisa mematikan padahal spesies yang ada di muka bumi itu ratusan jumlahnya, jadi hampir sebagian besar ular terancam dibunuh hanya karena dianggap berbahaya.
"Oleh karena ketidaktahuan itu, ular yang dapat menjadi predator alami untuk beberapa jenis hama tanaman, misal tikus, banyak yang mati sia-sia sehingga beberapa jenis ular terancam punah," ujarnya.
SIOUX melalui berbagai macam kegiatannya berusaha memberikan pembelajaran terhadap masyarakat luas bahwa tidak semua jenis ular berbahaya, sehingga tidak semua jenis ular harus dibasmi.
Untuk tahun 2004 ini, SIOUX mengkampanyekan tema besar mereka tentang "Ular Sahabat Kita", berusaha mengenalkan "kebenaran" tentang ular yang selama ini telah tertimbun berbagai macam mitos tentang begitu berbahayanya ular. "Kegiatan ini memang membutuhkan pengetahuan yang khusus jadi bukan sekedar sok aksi," katanya.

Atas Nama Prestise

Apabila sebagian besar pemuda memilih kegiatan yang dianggap "menantang maut" untuk menunjukkan ego seperti mendaki gunung atau bercanda dengan hewan buas maka sebagian yang lain mendapat "label" negatif ketika memilih kegiatan yang dianggap menghambur-hamburkan uang. Selam, adalah salah satu jenis kegiatan yang dianggap menghambur-hamburkan uang hanya untuk sekedar mengejar "prestise" karena sementara ini mungkin belum dapat dinikmati oleh setiap kalangan.
"Untuk menyelam memang dibutuhkan pengetahuan dan peralatan yang khusus, lalu karena olahraga ini relatif belum terlalu lama di Indonesia maka masyarakat masih beranggapan bahwa menyelam adalah kegiatan 'mewah'," kata Herry Mulyono, Ketua Tim Penyelam Sea World Indonesia pada pengibaran bendera merah putih di bawah air. Seseorang dapat menyelam dengan aman apabila telah memiliki sertifikat selam, karena menurut Herry menyelam bukanlah sebuah petualangan "konyol" untuk mengejar prestise semata, jadi penting artinya membekali diri dengan pengetahuan yang memadai.
"Terkadang orang salah mengartikan kegiatan ini sebagai bagian dari gaya hidup belaka sehingga belajar menyelam hanya sekedar untuk berpetualang tanpa keinginan yang lebih jauh, misal untuk melestarikan lingkungan perairan," kata Pria yang sudah empat kali bergabung dengan tim selam Sea World untuk mengibarkan bendera merah putih di aquarium utama Sea World setiap 17/8.

Modal yang dibutuhkan untuk membeli perlengkapan selam memang cukup besar tetapi itu bukan menjadi alasan bahwa kegiatan selam hanya untuk memenuhi ego. "Kegiatan menyelam adalah salah satu pilihan yang cukup unik untuk mengeksplorasi keindahan perairan secara positif mengingat dua pertiga bumi terdiri dari lautan dengan kehidupan bawah laut yang menarik, gua-gua, koral, tumbuhan laut, bermacam jenis ikan dan reruntuhan kapal," kata Herry. Jangan sampai seorang peselam, hanya berhenti dengan mengagumi keindahan bawah laut, tetapi tidak berupaya melestarikannya, walaupun misalnya tahu bahwa sebuah terumbu karang memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk tumbuh, ditinggali ikan, sampai berkembang menjadi suatu rumpun yang indah.

Apapun alasannya pilihan para pemuda di era globalisasi memang lebih beragam, dan semuanya dapat dijadikan suatu bukti akan rasa cinta yang tulus terhadap Indonesia karena kini nasionalisme tidak lagi diukur dari keberanian memanggul senjata saja.

Database Acuan Dan Perpustakaan LKBN ANTARA

No comments: